Berbicara tentang tokoh nasional yang
dibanggakan bangsa Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Dari generasi ke
generasi, akan selalu ada seorang manusia yang menciptakan sejarah tentang
dirinya untuk dipelajari generasi penerusnya.
Mengawali pembahasan terkait
#InspirasiTokoh ini, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka tentu bukan pilihan yang
salah.
Tan Malaka, mungkin sempat menjadi salah
satu pahlawan yang terlupakan namanya. Namun, bagi generasi masa kini, tidak
sulit menemukan buku fenomenalnya, Madilog (Materialistik, Dialog, dan Logika)
di berbagai platform digital atau toko buku. Namun, mengenal Tan Malaka tidak
cukup hanya sekedar tahu sosoknya yang cerdas dan suka menulis buku ini. Lebih
dari itu, gagasan dan pemikiran cemerlangnya telah menyumbangkan sejarah dalam
perkembangan tatanan kehidupan bangsa Indonesia.
Ada banyak kisah terkait masa muda atau
perjuangan Tan Malaka menentang antikolonialisme di Hindia Belanda yang bisa
kamu baca dibuku-buku sejarah atau situs internet lainnya, namun kali ini
penulis ingin mengajak teman-teman belajar bersama menumbuhkan jiwa muda dan
pantang menyerah bersama melalui kisah hidup sosok satu ini.
Tan Malaka muda adalah pemuda yang
cerdas. Pemuda Minangkabau yang sejak usia 5 tahun
telah mempelajari ilmu agama dan beladiri Pencak Silat. Ketika berusia 11
tahun, Ia mendaftarkan diri ke Kweekschool,
sekolah calon guru di Fort de Kock (sekarang bernama Kota Bukittinggi) pada
zaman Hindia Belanda dengan pengantar Bahasa Belanda. Di sana, dia
menyukai pelajaran Bahasa Belanda, bahkan diminta jadi guru Bahasa Belanda.
Lulus dari Kweekschool, Tan Malaka melanjutkan studinya di
Rijkskweekschool (Sekolah Kejuruan Guru Kerajaan/Negeri) di kota Haarlem,
Belanda. Pada masa itulah Tan Malaka mulai belajar ilmu filsafat ekonomi sosial
yang saat itu tengah berkembang di Eropa.
Hobinya membaca buku membentuk pola pikirnya. Tan Malaka
menulis beberapa buku seperti Naar de Republiek Indonesia yang menjadi cikal
bakal berdirinya Indonesia sebagai negara republik. Melalui bukunya, Tan Malaka
mengajak kaum cendekiawan Indonesia untuk berjuang meraih kemerdekaan dan peka
terhadap hati nurani rakyat.
Nah
setelah menyelesaikan studinya di Belanda, Tan Malaka menjadi guru Bahasa
Melayu untuk anak-anak buruh perkembunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera
Utara. Dari pengalaman mengajar inilah, Tan Malaka melihat secara
langsung penderitaan kaum buruh perkebunan teh yang diupah rendah, sering
ditipu karena buta huruf dan tidak lancar berhitung, diperas keringatnya
habis-habisan di tanah kelahiran sendiri.
Berbekal
dari semangat membela kaumnya ini, serta pengetahuan sosial politik yang dia
pelajarin selama di Eropa, Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan
organisasi ISDV, organisasi bentukan para anggota partai buruh di negeri
Belanda tahun 1914 yang bermukim di wilayah Hindia Belanda. Organisasi ISDV
memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak
dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Melihat
penderitaan para buruh, Tan Malaka memutuskan
pindah ke Jawa dan ikut berjuang bersama PKH. Di Semarang, Tan Malaka
dipercaya untuk merintis Sekolah Rakjat untuk menjadi guru sekaligus kepala
sekolah. Ternyata, setelah bergabung dengan PKH, Tan Malaka enggak cuma sibuk
ngajar mencerdaskan rakyat doang, tapi juga ikut berjuang di serikat
pekerja/buruh di seluruh Jawa. Semuanya, diikuti oleh Tan Malaka agar hak para
buruh dapat dibela oleh orang-orang terdidik.
Perlahan mendapat kepercayaan dari para buruh karena
perjuangannya melawan penindasan terhadap para pekerja, lama kelamaan,
pemerintah kolonial Belanda gerah dengan satu tokoh ini yang membuat situasi
bisnis mereka kacau, sampai akhirnya Tan Malaka ditangkap polisi Belanda dan
diasingkan ke Belanda biar enggak bisa memimpin pemberontakan lagi.
Namun, diasingkan ke Belanda bukan akhir dari segalanya
bagi Malaka, justru rasa ingin memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya
semakin membara. Tan Malaka malah ikut partai komunis bahkan menjadi salah satu
yang disegani di sana.
Tidaklah berlebihan jika kita menyebut bahwa Tan Malaka
adalah salah satu Founding Father bangsa Indonesia yang telah mengabdikan
seluruh hidupnya menjadi bagian dalam kemerdekaan Indonesia.
Dari
kisah kehidupan Tan Malaka ini, seorang pahlawan yang menghabiskan masa mudanya
untuk belajar dan menyuarakan kemerdekaan Indonesia, dikenal sangat kental
dengan gerakan kiri, sosialis, atau komunis, meski ditentang dan menjadi musuh
besar pada era pemerintahan Orde Baru. Namun, Tan Malaka tidak menyerah, meski
berseberangan pendapat dengan para pendiri bangsa Indonesia lainnya seperti
Soekarno, Hatta, atau Sjahrir, Tan Malaka tetap teguh pada apa yang
diyakininya.
Dari karakter seorang Tan Malaka, sebagai generasi muda yang bisa menikmati hasil jerih payah para pejuang kita, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang sampai meregam nyawa dalam memperjuangkan kemerdekaan, termasuk Tan Malaka, tugas kita adalah menjadi penerus, berjuang dengan cara yang berbeda, meski dengan pemahaman yang berbeda tentang makna sesungguhnya “kemerdekaan”. Namun, rasa cinta pada tanah air jangan sampai terlupakan, meski harus belajar mencari ilmu ke negeri seberang, dedikasi untuk kemajuan negara haruslah tetap terpatri.
Ini kisah Tan Malaka, apa kamu sudah cukup mengenal perjuangannya?
“Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Indonesia tempat darahmu tertumpah”
Tan Malaka, Massa Aksi (1927)